CURHAT | Kisahku Terdeportasi! #1/2
Do you ever feel like breaking down?
Do you ever feel out of place,
Like somehow you just don't belong
And no one understands you?
Do you ever wanna run away?
Do you lock yourself in your room
With the radio on turned up so loud
That no one hears you're screaming?
Do you ever feel out of place,
Like somehow you just don't belong
And no one understands you?
Do you ever wanna run away?
Do you lock yourself in your room
With the radio on turned up so loud
That no one hears you're screaming?
---------
Here you go! Baca ini dan tunggu part 2 nya ya! Dilarang berspekulasi, ber-dzon ria, berprasangka, dan lain-lain sebelum baca kedua part nya XD.
Selamat menikmati!!
Kondisi Blackout | Karena ada something yang mengisi hari, dan menghalangi dari memegang hape. |
Pada pos kali ini, daku mau cerita pengalaman yang terjadi 18 Agustus lalu. Ini sebenernya adalah pengalamanku yang terbilang menyenangkan, walau judulnya 'dideportasi'.
"Hah? Dideportasi kok senang? Dideportasi dari mana lo?"
Alkisah, di awal Agustus, aku ditawari papa untuk ikut suatu kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) di Puncak. Sebut saja kegiatan itu 'Sarasehan'. Papa merupakan salah satu pembicara di Sarasehan. Awalnya karena satu dan lain hal, aku masih mempertimbangkan untuk ikut atau tidak (terutama mengenai apakah panitia membolehkan aku ikut?). Tapi, tepat di tanggal 13 Agustus, ketika sudah dipastikan satu dan lain hal itu bukan masalah, finally kupastikan kehadiranku!
Diatas banner Sarasehan. Sorry karena banyak yang di blur XD. Biar ga nyebut merek. |
Lokasi Sarasehan. Yaitu di Cansebu, Puncak, Bogor. Bagus banget tempatnya! |
Sebelum lanjut cerita, aku mau jelasin dulu apa itu Sarasehan. Sarasehan adalah kegiatan LDK yang diselenggarakan selama 4 hari oleh lembaga A (gamau nyebut merek XD). Lembaga A sejak 2015 meluncurkan program beasiswa bagi 36 mahasiswa berprestasi dan penghafal Qur'an di 3 kampus yang berbeda: ITB, UI, dan UNDIP (berarti 1 kampus 12 mahasiswa). Aku masuk dalam kontingen 12 mahasiswa dari kampus ITB (sebenernya aku jadi mahasiswa ke-13. Nanti dijelasin!). Sarasehan ini diadakan sebagai ajang evaluasi; apa saja yang sudah dikerjakan dengan duit beasiswa tadi oleh ke 36 mahasiswa penerima itu, sekaligus kembali menerapkan moral kepemimpinan dan disiplin pada mereka. Sistemnya semacam Ospek, katanya. Wah, jadi makin tidak sabar ikutan!
Lanjut!
Beberapa hari sebelum Sarasehan, aku sedang di Bekasi. Niatnya adalah berangkat ke lokasi Sarasehan dari rumah di Bekasi, lalu ketika pulang ikut bersama kontingen ITB ke Bandung. Kebetulan dari kantor papa akan ada tim dokumentasi yang berangkat pagi ke tempat Sarasehan berlangsung. Kebetulan pula acara dimulai dari hari Kamis sampai Minggu, dimana di hari Senin mahasiswa ITB sudah masuk kuliah.
Menjelang hari-H, tenyata Sarasehan sudah menuntut berbagai macam PR untuk dikerjakan. Posisiku saat itu sudah tidak berada di Bandung bersama kontingen ITB. Yasudah, segala macam bentuk kontribusi untuk PR itu akan ku maksimalkan saja nanti di lokasi Sarasehan, pikirku. Pula segala kekurangan 'spek', kudaftar dan kuberi tahu mentor kontingen ITB untuk dibantu mencarikan solusinya.
Hari itu pun tiba. 18 Agustus, hampir pukul 07.30 pagi, aku sampai di lokasi Sarasehan, Puncak Bogor. Ternyata kontingen dari ke tiga kampus pun baru saja tiba di lokasi. Kuulangi lagi, aku memang tidak berangkat bersama kontingen ITB. Istilahnya, aku disana bukanlah penerima beasiswa. Tapi sejak awal masuk kuliah di ITB, papa yang agaknya dihormati di lembaga A menghimbau agar aku ikut kegiatan program penerima beasiswa itu. Sudah izin, dia bilang. Tidak dapat beasiswa, tapi ikut kerja. So, aku ikut serta dalam kegiatan kontingen ITB selama setahun kebelakang. Termasuk pula Sarasehan ini, aku ikut.
Lengkap sudah 29 orang, aku ditambah para penerima beasiswa (kecuali yang sedang ada halangan hadir dari UI dan UNDIP) di lokasi Sarasehan. Panitia Sarasehan langsung mengarahkan agar kami berkumpul di suatu lapangan luas, lalu mengeluarkan isi bawaan kami. Kami harus memilah mana yang boleh tetap dibawa bersama kami, mana yang harus dititipi. Termasuk HP, benda tajam, beling, dan buku bacaan juga dititipi. Aku, karena mungkin yang terbanyak dalam urusan barang yang dititipkannya, mulai mendapat perhatian khusus dari para panitia. Pasalnya, aku membawa TOA (pengeras suara yang rencananya dipakai untuk perform), cutter dan ATK lainnya (keperluan arsitek), botol minum bebentuk toples (dari bahan beling), cat air dan kertas khususnya (memang sudah memendam di tas sejak lama), dan laptop (bawaan dari rumah). Aku juga memakai baju berwarna merah terang ketika yang lain memakai baju hitam official penerima beasiswa. Terlihat mencolok sekali, apalagi di mata panitia _-_. Tapi tentunya aku sudah melaporkan keberhalanganku memakai baju official pada mentorku sebelumnya, dan katanya akan dicarikan baju penggantinya. Wah benar saja, tak lama kemudian panitia meminjamkanku baju official pengganti.
Baju Official penerima beasiswa | Aku yang kedua dari kanan di foto sebelah bawah ikut mejeng XD |
Setelah barang-barang dipilah, kami menaruh barang-barang tersebut di kamar dan memakai atribut untuk kegiatan Sarasehan berupa topi dan nametag, lalu diarahkan berkumpul kembali di lapangan. Tentunya dihitung waktu agar kami dinyatakan disiplin dan acara dapat berjalan sesuai ritmenya.
Setibanya dilapangan, ternyata ada dua ABRI siap sedia mengatur kami agar berbaris perkampus. Kontingen ITB memuat barisan terpanjang karena datang dengan anggota terlengkap.
"Kalau kita sudah bertemu, jangan ada keliatan gigi kalian!", begitulah sekiranya aturan main simple ala ABRI.
"Bagi siapa yang membawa 'spek' yang tidak diharuskan dibawa, atau kurang membawa 'spek', silahkan push-up 5 kali!", dan itulah aturan main kedua.
Kegiatan semacam ini bak pengulangan bagiku. Di ITB sudah sering ada Ospek. Ketika SMA pun ada Ospek. Dan pula, ketika SMP aku sudah sering latihan baris-berbaris ria yang memuat banyak push-up karena notabene aku seorang paskibraka. Sudah dijelaskan gamblang aturan mainnya oleh ABRI, kami diatur membentuk barisan tiga shaf. Setelah itu, dipilih pemimpin dari yang suaranya paling keras. Ingin rasanya saat itu menjadi pemimpin karena pasti perlakuannya lebih seru. Tapi apa daya, suaraku sedang serak kala itu.
Semua persiapan tadi ditujukan untuk prosesi pembukaan Sarasehan siangnya. Kami dilatih baris-berbaris tingkat dasar agar pada saat pembukaan nanti akan terlihat rapi. Kami dilatih hadap kanan-kiri, balik kanan, hormat, sikap sempurna, istirahat ditempat, patah-patah antar gerakan, dan lainnya. Huh, mengulang-ulang kegiatan yang biasanya kulakukan disekolah masa SMP dulu, rasanya senang sekali dan bersemangat! Apalagi mengetahui diri ini 'lebih jago' dibanding yang lain. Terbukti, ketika diajarkan gerakan apapun, tidak ada yang membenarkan gayaku.
"Ya, ini sudah bagus!", tanggap ABRI Wahid. ABRI yang satu lagi namanya ABRI Isnain (sorry, sebenernya aku lupa namanya _-_).
Selain mengajarkan gerakan baris berbaris dasar, ABRI Wahid dan ABRI Isnain juga mengajarkan yel-yel yang sangat keren menurutku. Aku sampai bersemangat menyanyikannya. Begini kira-kira liriknya:
"We are the champion (HU-HA!)
We are the champion (HU-HA!)
We are the champion ~ Kadersurau! 2x
You can't take the champion from me! 2x
We are the champion (HU-HA!)
We are the champion (HU-HA!)
We are the champion ~ Kadersurau! 2x
You can't take the champion from me! 2x
(HU-HA!)"
Ditambah gerakan menghentakkan kaki sambil tepuk tangan, dan di satu kesempatan melancarkan tinju ke langit.... PPUUAAH!! Luar biasa. Seriously, saat-saat baris berbaris memang melelahkan. Tapi olahraga ini yang entah mengapa selalu membuatku ingin senyum. Mungkin karena memang diajarkan demikian di tim Paskibra SMP. Sempat aku menulis begini di buku sampul merah-putih tanda anggota Paskibra:
"Yang keempat,dan
yang paling terpenting adalah paskibraka harus memperhatikan keadaan wajah.Yaitu,bibir harus selalu terlihat tersenyum. Untuk
menyeimbangkan dengan senyum anggota lain, bisa berlatih dengan mengucapkan kata “ASEM”."
Memang unik. Gerakan patah-patah seperti robot, latihan keras seperti tentara, tapi dituntut senyum seakan bocah tanpa beban hidup _-_. Tapi disitu serunya. Dan mengingat itu semua membuatku bersemangat sekali saat latihan baris berbaris di Sarasehan ini.
Gloria, paskibraka yang sedang viral di kalangan Netizen karena statusnya XD | Tuh liat, dia senyum! |
Seusai latihan baris berbaris dan latihan yel-yel lalu ditutup dengan latihan kode sandi peluit agar om ABRI mudah memanggil, kami diajarkan sikap duduk dan makan serta minum dari satu botol yang sama. Disini, kami dituntut agar semua orang (ke-29 peserta Sarasehan yang hadir) kebagian jatah makan dan minum. Tak peduli ada yang sakit lah, ada yang mulutnya terkesan 'menjijikan' lah, dan lah lah yang lain, begini sang ABRI mengajarkan sikap 'kebersamaan'. Lagi, aku sudah bisa mencontohkan cara yang tepat dengan porsi yang sempurna dalam makan dan minum di sesi ini. Maklum, dulu sudah biasa makan dan minum begini XD.
Agar tidak timbul rasa bosan, ABRI Wahid dan ABRI Isnain mengajak kami memperkenalkan diri satu persatu. Format perkenalannya adalah memperkenalkan nama panjang, nama panggilan, jurusan, asal kampus, dan asal daerah. Diselingi pula candaan apabila ada yang namanya aneh ataupun asal daerahnya sangat terpelosok. Hinga giliranku tiba untuk memperkenalkan diri. Aku menyebutkan nama panjangku 'Zulfikar Muhamad'. Sengaja tak kusebutkan 'Sepyan'. Karena papaku itu akan kebagian jadi pembicara di sesi sore nanti. Jadi, pastilah akan merepotkan pabila peserta yang lain tau aku anak siapa _-_.
Semua berjalan lancar dan menyenangkan.
Atau setidaknya begitulah sebelum ABRI Isnain memanggilku kebelakang disaat yang lain masih memperkenalkan diri. ABRI Isnain lantas menatapku lekat sembari memegang tangan kanan ku.
"Itu gelang apa ya?"
"Siap! Gelang persahabatan.", seruku.
"Bisa dicopot aja ga? Yang lain ga make gelang kan?"
"Siap! Tidak bisa pak! Sekali dicopot tidak bisa dipakai lagi."
"Tapi yang lain tidak pakai kan?"
"Siap! Anggap saja gelang ini jam tangan."
"Kalau jam tangan ada kegunaannya, gelang itu apa?"
"Siap! Saya sudah berjanji untuk tidak melepas gelang ini pada teman-teman SMA saya!"
Lantas peserta lain melirik kearah kami karena mungkin omonganku terlalu gaduh.
"Janji pada teman-teman? Kalau gitu yang lain ambil posisi push-up!", teriak ABRI Isnain kepada peserta yang lain.
Posisi push-up sudah diambil semua peserta Sarasehan, kecuali aku.
"Lihat, teman-temanmu disini sudah gemetar saya biarkan posisi push-up. Kamu masih mau pertahankan janji sepele dengan teman-teman SMA mu itu?"
Aku gagu. Disisi lain aku melihat ada yang sudah gemetar menahan beban tubuhnya dengan kedua tangannya. Ada pula yang tertawa-tawa membayangkan uniknya kejadian yang terjadi dihadapannya itu. Tetap saja aku bingung. Aku berada pada titik apakah pertahankan simbol persahabatan dengan pertahankan gelang yang melingkar di tangan kananku ini? Ataukah junjung simbol kebersamaan dengan sama-sama tidak memakai gelang dengan peserta yang lain? Aku grogi. Otakku tak bisa berfikir serius. Mulutku terpaksa senyum-senyum antara menahan malu dan takut. Walau sebenarnya aku yakin, ABRI Isnain pasti kan melonggarkan posisi push-up teman-temanku pabila mereka tidak kuat. Wong mereka bukan penculik maupun penjajah yang hobinya menyiksa. Iya kan?
"Siap! Izinkan saya juga push-up!", kataku. Dulu, saat aku SMP, biasanya kesalahan orang yang sedang berada di posisiku saat ini adalah tidak ikut push-up bersama yang lain.
"Kamu gak usah push up. Kamu tinggal milih mau lepas gelang mu atau teman-temanmu saya biarin di posisi push up!"
Aku kukuh mengatakan 'SIAP! TIDAK!'. Semoga saja dugaanku benar ABRI ini bukan penculik. Semoga dugaanku benar kalau ABRI ini bukan penjajah!
Sadar waktu terbuang akibat keras kepalanya aku dan si ABRI, Bu Yes (sebut saja begitu), memberikanku pilihan yang lebih pelik.
"Kamu sekarang pilih, lepas gelang itu atau.....",
.....KAMU KELUAR DARI KEGIATAN SARASEHAN INI!?!?"
.....KAMU KELUAR DARI KEGIATAN SARASEHAN INI!?!?"
Aku tercekat.
***[to be continued]***
terharu gua vik :')
ReplyDeletemana lanjutannya
ReplyDeletemana lanjutannya
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete